Gaduh Hutan Kota, Cermin Bahwa Ada Pihak Kebal Hukum?
Oleh: EDI PURWANTO
BANDARLAMPUNG --- Sesak juga
nafas ini terus mengikuti berbagai pemberitaan media massa dari berbagai
tulisan dan komentar berbagai pihak yang menyoroti tentang “Hutan Kota” yang
kini sudah rata dengan tanah urugan yang banyak pihak menilai ini sebagai
tindakan arogan.
Ingat kondisi ini, maka ingat
pula apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Hukum yang tadinya “berpangkat”
Panglima di negeri gemah ripah loh jenawi
ini, mungkin saat ini sudah turun pangkat menjadi Pembantu.
“Sadis, Miris, dan Bengis.” Kata teman dekat saya. “Kenapa begitu?” Tanya saya.
Menurutnya, saat ini kebanyakan
orang yang “punya power” baik swasta maupun negri, sudah tidak lagi menganggap
bahwa Indonesia ini ada hokum.
Dicontohkan sejak dari kekuasaan
yang ada di paling atas negeri ini, yakni Mahkamah Konstitusi. Yang ini seluruh
rakyat Indonesia beserta keluarga dan kerabatnya sudah mengerti semua.
Terus menerus menjadi satu hal
yang bergulir bak bola salju. Semakin menggelinding semakin bertambah besar dan
mengerikan.
Terakhir baru kemarin siang,
Indonesia “disambar geledek”, ditandai dengan ungkapan Presiden Indonesia yang
dengan entengnya mengatakan bahwa saat ini Presiden Boleh Kampanye. Eit.
Enteng, tanpa ekspresi dan
tampak nyaman-nyaman saja diunkapkan oleh orang nomor satu di Indonesia.
Kok Indonesia kayaknya sudah
bukan seperti Negara ya. Tapi seperti sebuah Rukun Tetangga, dimana pak RT
kadang melakukan apa saja yang dia mau dan dia suka di lingkungannya. Tapi
tidak semua RT berlaku seperti itu juga kali yaa.
City Forest Gate
“Sadis, Miris, dan Bengis.” Kata teman
dekat saya. “Kenapa begitu?” Tanya saya.
Sumpah serapah yang ada di media
sosial sudah tidak terbendung lagi. Pemberitaan media mainstream sudah berani
blak-blakan menerbitkan kontradiksi yang terjadi di negeri ini. Tapi makin
menjadi-jadi saja pengangkangan Hukum oleh orang-orang yang punya power.
Dan ini tampaknya ditiru oleh
orang-orang Lampung yang merasa punya power.
Contohnya pada kasus gaduhnya “City Forest Gate” atau
Hutan Kota gate.
Meski terus mengalir deras dari
berbagai pihak, meski terus bergulir dengan berbagai upayanya mencegah
pelanggaran ala mini. Tetapi yang bersangkutan tetap masih bisa tidur nyenyak
sekali.
Bahkan katanya sulit dibangunkan
dengan berbagai cara tak bergeMING.
Banyak yang bilang ini sudah
mulai menunjukkan tidak menghormati hukum dan tatanan kemasyarakatan Indonesia
yang selalu mengedepankan musyawarah untuk mufakat.
Bahkan apparat penegak hukum (APH)
sekarang sedang menggalakkan apa yang disebut dengan Restorasi Hukum. Tapi yang
ini memang tidak mempan hukum apa yaa.
Waduh, mbok jangan ngawur dan
sembrini lah. Apalagi sembrono memainkan peranan untuk tatanan kota. Apapun
alasannya, dalam pengembangan perkotaan harus memiliki banyak pertimbangan,
terutama tentang alam. Jangan sembrono.
Sebelum bertambah luas, maka
pihak berwenang harus segera bertindak. Dan bertindaklah dengan dasar yang
jelas. Hutan Kota, Hutan Kota dan Hutan Kota itu pokok masalahnya.
Bukan mengubah Hutan Kota
menjadi bentuk lain.
Denger-denger kalau itu akan
diurus sedemikian rupa, maka ada beberapa bangunan yang di sekitar itu juga
terdampak dengan persoalan Hutan Kota ini.
Bangunan yang mana, besok saya
tanyakan sama yang berkompeten dulu, agar tidak salah menulis.***
n Edi
Purwanto – wartawan detiklampung.com
Comments