Tanda-Tanda Hilangnya Marwah Porwanas …

CATATAN PINGGIR  ---- Apa yang akan terjadi, terjadilah. Makin ke sini, reputasi organisasi wartawan makin terus menurun. Namun ini karena ada beberapa praktisi jurnalistik ini yang lupa pada kiblat perjuangan dan tupoksinya wartawan.

Tanpa tedeng aling-aling memang badai yang mengguncang perahu besar PWI sudah turut menyiprat kemana-mana, dan ini juga menjadi bahan gunjingan organisasi wartawan lainnya.

Meskipun wartawan Indonesia digadang bisa berlaku independen di era reformasi ini, ternyata malah meniru gaya kepemimpinan Indonesia saat ini, dengan melakukan berbagai hal yang “mirip” seperti pemerintahan Indonesia dengan mengambil sempel judul filmnya Warkop, “Semua Bisa Diatur”.

Saya tidak membahas soal kasus guncangan PWI, namun agak lebih ke bawah sedikit, yakni di salah satu seksinya saja, yaitu Seksi Wartawan Olahraga (SIWO). Kok ya akhirnya sama juga.

Hasil diskusi dengan beberapa aktivis SIWO di Indonesia, bahwa ada kesimpulan dini, bahwa  saat ini ada tanda-tanda hilangnya marwah Porwanas, sebagai salah satu sarana silaturahmi dengan olahraga, kini malah mulai berangsur-angsur berubah lain, “ambisi”.

Kenapa ambisi yang mengemuka dalam beberapa keputusan belakangan ini. Yang jelas ada perbedaan dalam karakter SIWO selama ini dalam memagari Porwanas sebagai ajang silaruahmi olahraga wartawan. Dan hasil beberapa kali ngobrol dengan para aktivis SIWO, ada beberapa hal yang mengkhawatirkan.

Beberapa Hal

Pertama, kabar yang berbobot A1 (A satu), yakni diubahnya aturan tentang syarat atlet yang ikut di Porwanas. Contoh konkritnya adalah cabang olahraga Atletik.

Masuknya seorang atlet yang jelas-jelas adalah atlet professional dan berlari untuk mengejar hadiah dari beberapa kejuaraan terbuka bahkan sampai ke negara Malaysia, dan sama sekali bukan wartawan, akhirnya bisa direkrut menjadi wartawan, dan sah, dengan cara mengubah aturannya. Apapun bunyinya, ini tetap memeloroti marwah wartawan olahraga.

Kedua, persyaratan usia wartawan peserta saat ini menjadi 22 tahun yang bisa dan boleh mengikuti pertandingan di Porwanas. Usia 22 tahun, adalah usia dimana seorang atlet itu sedang pada usia emas, golden age.

Dan menurut beberapa senior SIWO di Indonesia, ini keputusan yang terlalu gegabah yang tidak jelas tujuannya, namun jelas untuk kepentingan mengikuti Porwanas.

Hhhhhh… kita perlu menarik nafas panjang dulu.

Menurut saya pada kasus pertama, melegalkan pelari nasional dan profesional turun di lingkungan wartawan adalah satu sikap yang sangat tidak bijak, dan ini tanda-tanda “ketamakan” mulai menghinggapi hati para pengurus PWI atau SIWO di Indonesia agar bisa memenangi lomba, dapat medali emas, demi gengsi daerah karena dibiayai oleh Pemerintah Daerah.

Hhhhhhh… kita menghela nafas aja lagi. Ada upaya naturalisasi memang sejak dulu sudah dilakukan. Namun persyaratannya jelas. Jika itu Juara nasional diperbolehkan asal peristiwa kejuaraan nasional itu 10 atau 15 tahun sebelumnya, sehingga secara kemampuan sudah tidak lagi sebagai juara nasional, atau minimal berkungan menjadi 50 persen, misalnya.

Naturalisasi

Nah, kalau contoh di kasus pertama ini tetap diberlakukan dengan mendorong pelari aktif yang masih bertanding di tingkat Asia masuk ke ranah wartawan dengan cara meng UKW kan dan melengkapi persyaratannya dengan lengkap tanpa cacat, yaa kita kembali menghela nafas lagi.

Jangan melakukan pembenaran dengan melihat peristiwa politik. Jangan pula melakukan penyamanan yang bisa menghalalkan segala cara saat ini. Tanpa ada rasa malu sedikitpun, tanpa ada rasa rikuh sedikitpun demi menggapai ambisi.

Saya ingin menyadarkan teman-teman SIWO khususnya dan wartawan di PWI pada umumnya. Mari kita berfikir kembali, kita mau bawa kemana Porwanas ini ke depan. Kok makin begini. Mencontohkan hal yang kurang etis menjadi sangat etis, menjadikan kita melupakan silaturahmi itu.

Entah cabang olahraga apalagi yang saat ini kembali banyak melakukan “naturalisasi” agar kontingennya meraih kemenangan. Yaa tapi silahkan saja.

Mungkin lambat laun, akan banyak suara yang meneriakkan “Sudah Stop Saja Porwanas”, karena sudah tidak lagi nyaman untuk olahraga wartawan.

Atau kalau mau yaa diubah, semua PWI merekrut mantan-mantan atlet untuk di “wartawan” kan, sehingga pertandingan-pertandingan di Porwanas mirip dengan PON atau bahkan Asian games.

Syahwat Medali

Kalau itu yang dituju, maka saya pribadi mengusulkan kepada PWI saya, agar Porwanas ke depan tidak perlu ikut dalam cabang olahraga apapun. Cukup hadir sebagai peninjau yakni pengurus inti dan pengurus SIWO saja.

Dana yang dipergunakan untuk membiayai Porwanas, dialihkan untuk pendidikan wartawan dan meningkatkan kualitas wartawan di provinsi saya.

Kemudian dipergunakan untuk membantu keluarga wartawan yang tertimpa musibah, misalnya. Ini malah jauh bermanfaat dan berpahala. Daripada mengikuti Porwanas yang banyak aturan-aturan baru yang ambisius.

Terus terang Porwanas ini menjadi tidak penting, kalau terus didera kekecewaan dari berbagai ambisi saja. Lalu melupakan fungsi silaturahmi. Renungkan, apa yang didapat dari Porwanas saat ini?

Saya masih ingat ketika tahun 1993, turun di single perorangan bulutangkis dikalahkan oleh Mas Djoko dari Bali dengan rubber set saat itu. Tetapi sampai sekarang masih membekas, betapa sesudah pertandingan kami bersalaman dan terus menjalin hubungan baik hingga sekarang, misalnya.

Lalu bagaimana indahnya pertandingan sat kami melawan DKI Jakarta, yang saat itu mas Marjo masih belum tertandingi oleh siapapun, dan saat berpasangan dengan Charles juga menjadi pasangan yang sangat kuat dan mengalahkan tim kami, sehingga kami terdampar ditempat ketiga. Sesudahnya menjadi pertemanan yang sangat baik hingga sekarang.

Ya silahkan saja, kalau mau diteruskan aturan-aturan yang demikian dengan mengedepankan “syahwat” medali. Itu adalah keputusan besar yang sudah dibuat bersama, namun kami tentu tidak ikut serta.

Maaf yaa, saya sampaikan pendapat pribadi ini untuk mengingatkan kita semua akan tujuan awal dari Porwanas ini agar tidak terlalu jauh berbelok.

Silahkan melakukan naturalisasi dengan cara apapun demi syahwat medali, kalau itu yang akan memuaskan teman-teman. Itu saja. (Edi Purwanto – redaktur)