Wartawan Itu Pekerjaan Atau Profesi?
Oleh : Edi Purwanto, Wartawan
----- SAYA mengawalinya dengan sebuah pertanyaan,
apakah wartawan itu pekerjaan atau profesi?
Terus terang saya tidak ingin mengkaitkan peristiwa
apapun pada pertanyaan saya ini, karena memang selama ini secara pribadi saya tidak pernah
menulis pada beberapa blanko isian pada kolom pekerjaan dengan menuliskan
wartawan sebagai pekerjaan saya.
Saya selalu menuliskannya karyawan swasta, atau bahkan swasta saja. Lalu kalau ditanyakan, dimana saya bekerja, maka saya jawab bahwa saya bekerja di Lampung Post, di Lampung Ekspress Plus dan sebagainya.
Saya mengakui sebagai wartawan yang otodidak. Istilah lain dari otodidak adalah self-taught atau mengajar diri sendiri. Dalam perspektif belajar sendiri, bisa dipastikan segala daya upaya digunakan untuk dapat mengetahui hal yang ingin dipelajari.
Saya
tidak punya pendidikan resmi wartawan atau kewartawanan semacam jurusan publisistik
yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia artinya ilmu tentang kewartawanan
dan media massa; jurnalistik.
Saya hanya berguru pada beberapa wartawan senior yang
saat itu saya anggap sebagai yang paling mumpuni dibidangnya, saat saya datang ke
Lampung pada 1982. Guru saya itu adalah Hi. Solfian Ahmad, Kolam Pandia
Sembiring, Viktor Panggabean dan satu lagi Eddy Koko yang semuanya dari Lampung
Post, dan satu lagi dari Warta Niaga, yakni mas Purnomo. Dalam beberapa hal saya juga belajar sama Buya Harun Muda.
Dan tentu ada beberapa lainnya yang sangat antusias untuk
diajak diskusi dan membenarkan beberapa hal yang keliru dan malah mungkin
salah.
Saya mendapatkan ilmu menulis, sedikit demi sedikit,
bahkan dengan otodidak saya terus kembangkan melalui membaca koran dan majalah
yang jaman itu sangat banyak dan berbagai ragam dan gayanya.
Kita ingat tulisannya Arswendo Atmowiloto tabloid Monitor?
Tulisannya Sindhunata dari Kompas? Dan mungkin kolumnis lainnya yang sangat
terkenal.
Dari sana, mungkin bisa dipakai menjadi guru kita dalam
menekuni profesi khusus ini. Kenapa saya bilang khusus?
Karena menulis itu memerlukan hati, menulis itu
memerlukan emosi dan menulis juga memerlukan kecerdasan. Satu lagi yang tidak
kalah penting, menulis itu memerlukan kejujuran.
Nah maka dari itu, saya pribadi sekarang menganggap bahwa
wartawan itu adalah profesi, bukan pekerjaan. Entah bener atau salah, yaa saya tentu
tidak bisa menentukan, karena itu adalah anggapan saya saja. (Kalau bener yaa
syukur, kalau salah mohon maaf..lah).
Menurut saya, wartawan itu sama dengan pengacara, dokter,
advokat, guru, atlet, pelatih dan beberapa yang lain yang menjurus pada arah profesional.
Karena wartawan itu adalah profesi, maka sebagai wartawan
juga seyogyanya profesional, belajar professional, menuju profesional dan
jangan amatiran.
Maka seringa da istilah wartawan gadungan, pengacara
gadungan, dokter gadungan, dan sebagainya. Dalam dunia olahraga juga ada
istilah professional dan amatir.
Ada pertandingan tinju profesional dan ada pula
pertandingan tinju amatir. Dalam hal aturan main serta pakaiannya sudah
berbeda.
Nah itu artinya, jika mengaku sebagai wartawan maka dia mempunyai
tanggung jawab yang besar karena harus profesional. Seperti di dunia hukum
sebagai pembela, ada Advokat dan ada Pengacara. Dulu ada yang namanya Pokrol
Bambu.
Pokrol Bambu dalam khasanah bahasa Indonesia, definisinya,
“pembela perkara (dalam pengadilan) yang bukan tamatan sekolah tinggi; pokrol yang
tidak terdaftar secara resmi”.
Pokrol Bambu sekarang sudah tidak ada lagi, dan
sudah terhalang dengan berbagai aturan hukum yang ada sehingga dia harus
mengubah dirinya menjadi lebih profesional dengan tingkat Pendidikan sepadan
dengan aturan yang berlaku.
Sekali lagi, bahwa wartawan adalah profesi, tentu terikat
dengan aturan yang jelas dari organisasi profesinya.
Jika ada istilah citizen journalism atau civic
journalism atau public journalism ini hal lain kayaknya. Karena kalua
membaca sejarahnya (menurut catatan Wikipedia), jurnalisme warga muncul saat
Mrak Drudge menuliskan berita terkait perselingkuhan Bill Clinton dengan
stafnya pada 19 Januari 1998 di internet.
Konsep jurnalisme warga berkaitan dengan civic
journalism atau public journalism di Amerika Serikat
setelah pemilihan presiden 1998. Gerakan tersebut muncul karena masyarakat
mengalami krisis kepercayaan terhadap media-media mainstream dan
kecewa terhadap kondisi politik pada masa itu. Inti dari jurnalisme warga ialah
masyarakat berperan sebagai objek sekaligus subjek berita.
Perkembangannya di Indonesia, salah satunya dipicu pada
tahun 2004 saat terjadi tragedi Tsunami di Aceh yang diliput sendiri oleh
korban tsunami. Terbukti berita langsung dari korban dapat mengalahkan berita
yang dibuat oleh jurnalis profesional.
Namun, jika ingin melacaknya lebih jauh, praktik
jurnalisme warga sudah sejak lama ada, setua jurnalisme itu sendiri.
Gillmor bahkan menyebut benih jurnalisme warga telah ada
sejak 1700-an di mana warga menulis dan menyebarluaskan pandangannya melalui
selebaran.
Kalaulah ingin melacak lebih jauh lagi, praktik di mana
warga (sebelum profesi jurnalis muncul) menyampaikan informasi bisa dilihat
pada masa 100 SM di mana Acta Diurna, surat kabar pada masa
kekaisaran Roma berupa kayu pipih yang ditempel di dinding setelah senat
melakukan pertemuan, muncul.
Catatannya adalah bahwa citizen journalism itu
hanya dinilai dari tulisannya. Bukan perilaku atau perbuatannya, misalnya
anarkis dan sebagainya. No. Tulisannya saja.
Kalau seseorang menuliskan semacam berita kecaman, harus
ada dasar dan bukti. Dan kalau dia menulis saja dan itu terbukti ngawur, ada
hukumnya sendiri yang mengaturnya.
Kalau nulis ditambah gerakan badan dengan anarkisme, tentu
hukum yang akan mengaturnya juga berbeda. Pasti akan didahulukan kepada gerakan
fisiknya missal meludahi, merusak barang dan sebagainya. Nilai hukiumnya juga
akn dijerat dengan hukum lainnya.
Kembali pada bagaimana menilai wartawan sebagai profesi
atau pekerjaan, maka sangat bisa dibedakan kan?
Yaa saya tahu, saat ini identitas wartawan sedang
dipertaruhkan. Kredibiltas profesi wartawan juga sedang terguncang.
Tentu, kit aini tinggal di sebuah negara yang mempunyai
tata cara dan tata krama, tata hukum yang sah. Maka dari itu, mana yang harus
diselesaikan secara hukum, mana yang harus diselesaikan secara wartawan sudah
jelas dan gamblang.
Yang sulit adalah karena ada klasifikasi pengertian satu
orang dan lainnya yang kadang berbeda dalam menilai sebuah masalah.
Ada seseorang yang TAHU kalau dia TAHU.
Ada seseorang lainnya yang TAHU kalau dia TIDAK TAHU.
Ada lagi seseorang yang TIDAK TAHU kalau dia TAHU.
Yang terakhir ada seseorang yang TIDAK TAHU kalua dia
TIDAK TAHU.
Nah sekarang Kembali kepada kita masing-masing. Kalau
saya juga susah masuk yang dibagian mana.
Salam sehat dan salam damai Indonesia bebas Covid-19 dari
varian apapun.
Sayangilah pekerjaanmu, sayangilah profesimu. (*)
Comments