Soal Ketua PWI, Saya Kok Ingat Nasihat Bang Sol, Dunia Ini Nyata

Ini foto ketika ditugaskan sebagai wartawan artis. Jaman itu, sesuatu banget. (foto. Jaya Solfian)

Oleh: Edi Purwanto

Wartawan detiklampung.com & LampungSport.com


SETIAP menatap gedung kantor DPD Nasdem Lampung, saya selalu ingat dengan sosok guru besar saya di dunia pers ini, Bang Sol. H. Solfian Akhmad.

Tahun 1983, kala itu saya baru setahun berada di Lampung. Setelah lulus dari SMEA di Jogjakarta saya diajak Bicik ke Tanjungkarang Mei 1982. Masih menumpang kapal laut dari PelabuhanMerak ke pelabuhan Panjang.

Setahun di Bandarlampung, saya masih nganggur. Dan mencoba ikut Om Gani di kantor pengacara, meski masih jadi office boy. Keren kan, Office boy.

Suatu siang, saya membaca surat kabar harian Lampung Post yang dibawa klien kami ke kantor. Saya lihat halaman 3, ada Cerpen. Di sana kok gambarnya guntingan komik yang ditempel begitu saja.

Dari situ saya mencoba memberanikan diri, bagaimana jika saya melamar di koran Lampung Post, kebetulan kantornya berdekatan dengan kantor Om gani di Jalan A Yani Tanjungkarang.

Saya punya dasar dan keberanian menulis, sejak SMA aktivis majalah dinding di sekolah. Sering membuat ilustrasi Cerpen teman-teman sekolah. Makanya kok rasanya risih, ada koran masih menggunting gambar komik untuk ilustrasi. Terbersit rasa optimis. Kalau saya melamar, mungkin bisa diterima di Lampung Post.

Inilah awalnya, saya mengenal Bang Sol. Awalnya mengenal perusahaan koran sebenarnya. Bagaimana mengerjakan koran, seperti apa cara membuatnya. Sebelumnya, hanya tahu membacanya saja.

Kala itu hari Rabu, saya ingat harinya tapi lupa tanggalnya. Saya melamar, tanpa membawa surat lamaran, tetapi membawa lembaran koran Lampung Post yang berisi Cerpen dengan gambar ilustrasi potongan komik.

Saya diterima oleh Bu Hanan, namanya. Disuruh menunggu nanti ada pimpinan yang langsung interview. Duh, deg-deg-an. Serasa mimpi kala itu. Saya menunggu tidak lama, sekitar 30-an menit.

Kemudian saya dipanggil disuruh masuk ruangan pimpinan, yang ternyata belakangan saya kenal dengan bang Sol.

Setelah ditanya berbagai latar belakang, kenapa melamar kok hanya karena Cerpen dan sebagainya. Saya kemudian ditest menggambar ilustrasi untuk cerpen tersebut.

Alhasil, gambaran atau lukisan saya menarik perhatian Bang Sol. “Nah pinter juga lu. Cepet juga lu gambar....” itu yang teringat di telinga saya sampai saat ini.

Karikatur Gubernur

Singkat cerita, saya diterima untuk menjadi ilustrator Cerpen oleh bang Sol. Hanya sebatas ilustrator. Lalu saya diberikan oleh seorang redaktur atau apalah namanya saya lupa, setumpuk naskah kiriman dari pembaca untuk Cerpen.

Beberapa cerita langsung saya baca dan disimpulkan bagaimana gambar dan ilustrasinya. Langsung saya coba gambar hari itu juga. Saya berhasil membuat tiga ilustrasi.

Lalu saya disuruh pulang dan hari Sabtu disuruh kembali ke kantor lagi. Malah tidak ditanyakan  surat lamaran dan lain-lain.

Sepekan kemudian, saya kembali dipanggil bang Sol, disuruh membuat karikatur di pojok halaman depan sebelah kanan, saya masih ingat ukurannya 3 kolom kali 10 sentimeter. “Lu cari judulnya karikatur lu apa untuk tokoh. Setiap Sabtu, lu buat untuk pojok, dicari dari isu terpenting setiap minggunya. (artinya isu Senin sampai Jumat)” kata Bang Sol.

Dari sinilah lahir yang namanya Don Pecci. Sebuah tokoh yang saya ambil dari dua nama terkenal yakni DON Juan dan Mat PECI. Karena yang terpikir oleh saya waktu itu adalah bagaimana nama itu asing tetapi tidak asing. Maka diterimalah nama itu dengan gabungan Don Pecci.

Mulailah dengan berbagai kritikan dan apapun namanya adalah sebuah sindiran yang kala itu masih sangat jarang dilakukan koran di Lampung.

Dua kali saya dapat teguran dari Bang Sol, lantaran karikaturnya terlampau menohok Gubernur Yasir Hadibroto. Tetapi itu bukan berarti teguran kemarahan, namun justru sebaliknya. “Kamu bisa menggelitik orang lain, pejabat. Nah ini sudah bener,” kata Bang Sol.

Belajar Jadi Wartawan PWI

Dari sini saya terus sedikit demi sedikit mengenal apa itu namanya wartawan, redaktur dan sebagainya tentang koran dan terus tertarik mendalaminya.

Akhirnya, suatu sore saya memberanikan diri menghadap bang Sol, dengan maksud ingin menjadi wartawan juga. Inilah jawaban Bang Sol. “Wartawan itu profesi. Dasarnya Jujur. Kalau lu mampu silahkan coba, tapi lu harus belajar dari awal sama diorang redaktur. Jangan asal tulis aja. Belajar dulu, kalau sudah bisa lu boleh ke lapangan.” Itu sekelumit yang masih saya ingat dari bang Sol.

Kemudian saya diarahkan oleh bang Viktor Panggabean untuk minta ilmu kepada bang Kolam Pandia Sembiring, redaktur Lampung Post.

Saya disuruh banyak membaca lembaran berita Antara, dan disuruh memilih berita yang menarik untuk bisa dimuat di Lampung Post. Itu awalnya.

Lalu setelah setahun lebih, saya mulai mengenal apa yang namanya PWI. Persatuan Wartawan Indonesia, karena kantornya bersebelahan dengan kantor Lampung Post.

Jaman itu hanya ada PWI saja komunitas wartawan itu. Dan itu masih baru terdiri dari beberapa orang saja di sana. Dan apa yang dilakukan pwngurus PWI pun saya sama sekali tidak tertarik untuk tahu. Saya masih asyik sebagai wartawan baru, yang dengan semangat turun ke lapangan sesuai dengan proyeksi redaktur.

Pertama saya turun dibidang Seni Budaya dan Pendidikan. Dan seterusnya jadi wartawan artis. Dengan berbagai peristiwa yang dulu pernah terjadi di Lampung.

Singkat cerita, suatu sore kami beberapa orang sedang berbincang di ruang redaksi tiba-tiba bang Sol datang dan bercerita soal kehidupan wartawan. Ada kalimat yang cukup rumit waktu itu saya menterjemahkannya.

“Wartawan itu, satu kakinya berada di lumpur, satu kaki lainnya ada di pematang. Jadi gak gampang jadi wartawan. Bisa jadi kaki kalian dua-duanya masuk lumpur, atau sebaliknya. Ingat itu.” Kata Bang Sol.

Kami semua masih terdiam. Kami akan sangat serius mendengarkan jika Bang Sol berada diantara kami dan memberikan wejangan seringan apapun.

Bang Sol yang memberikan gambaran bahwa dunia Wartawan itu dunia nyata. Bukan dunia angan-angan atau teori. “Semua yang kalian tulis adalah kenyataan ....” katanya.

Jangan main angan-angan. Mainlah di dunia nyata. Katakan benar jika benar, katakan salah jika salah. Ukuran kebenaran bukanlah subyektif, tetapi penilaian secara umum dan khalayak yang memandang.

Wartawan itu penuh dengan sportivitas, bahkan melebihi sportifnya olahragawan. Dalam dunia wartawan digunakan apa yang dinamakan hak jawab bagi sesiapapun yang ditulis oleh wartawan dan ternyata tidak berkenan dengan isi beritanya.

Hebatnya lagi hak jawab itu harus dimuat di halaman yang sama dengan tulisan yang dijawabnya dan besarnya juga seyogyanya sama.

Bang Sol juga sering berpesan, jadi wartawan jangan menebar kebencian dalam tulisannya, jangan memainkan opini diri sendiri dan sebagainya.

Saking banyaknya nasihat yang saya terima dari bang Sol, saya baru tahu, ternyata waktu itu Bang Sol ketua PWI Cabang Lampung. Beliau seperti bapak, seperti guru, seperti sahabat dan teman ngobrol. Santai tapi berilmu.

Itulah makanya saya selalu ingat beliau, setiap melihat gedung Nasdem Lampung. Karena di gedung itu saya banyak mendapatkan nasihat bang Sol. (***)