Delapan Puluh Enam Tahun KONI, Apa Yang Sudah Dilakukan Untuk Atlet

Oleh: Edi Purwanto – wartawan olahraga

--- Delapan Puluh Enam Tahun adalah waktu yang cukup tua, atau jika disandingkan dengan usia manusia adalah manula. Usia yang sudah sangat matang dan berpengalaman.

Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) merupakan organisasi yang berwenang mengelola, membina, mengembangkan, dan mengkoordinasikan seluruh kegiatan olahraga prestasi di Indonesia, hari ini merupakan hari jadinya ke 86.

Nama KONI itu sendiri merupakan metamorfosa dari berbagai nama sejak lahir lembaga olahraga yang kala itu bernama Ikatan Sport Indonesia (ISI).

Pada tahun 1938 lahirnya ISI yang berkedudukan di Jakarta masih bernama Batavia. Pada saat itu ISI adalah satu-satunya badan olahraga yang bersifat nasional dan berbentuk federasi.

Maksud dan tujuan didirikan organisasi ini adalah untuk membimbing, menghimpun dan mengkoordinir semua organisasi cabang olahraga yang telah berdiri pada saat itu antara lain PSSI (berdiri pada tahun 1930 di Yogyakarta), Persatuan Lawn Tenis Indonesia atau PELTI (berdiri pada tahun 1935 di Semarang) dan Persatuan Bola Keranjang Seluruh Indonesia (sekarang bernama PERBASI yang berdiri pada tahun 1940 di Jakarta).


Dari Wikipedia  dijelaskan pada saat itu ISI sebagai koordinator cabang-cabang olahraga juga pernah mengadakan Pekan Olahraga Indonesia pada tahun 1938 yang dikenal dengan nama ISI – Sportweek atau Pekan Olahraga ISI.

Dan sejarah mencatat, KONI sebagai Komite Olahraga Nasional Indonesia yang sampai sekarang masih dipertahankan adalah atas keputusan Presiden Sukarno pada tahun 1966.

Presiden Soekarno menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 143 A dan 156 A Tahun 1966 tentang pembentukan KONI sebagai ganti DORI, tetapi tidak dapat berfungsi karena tidak didukung oleh induk organisasi olahraga berkenaan situasi politik saat itu.

Presiden Soeharto membubarkan Depora dan membentuk Direktorat Jendral Olahraga dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Induk organisasi olahraga membentuk KONI pada 31 Desember dengan Ketua Umum Sri Sultan Hamengkubuwono IX sedangkan KOI diketuai oleh Sri Paku Alam VIII.

Jadi penghitungan hari Jadi KONI itu ternyata dimulai dari tahun 1938, dengan terbentuknya ISI, meskipun secara resmi nama KONI baru dipakai pada tahun 1966.

Normatif

KONI sebagai organisasi besar yang dipercaya oleh pemerintah sebagai salah satu pengelola olahraga prestasi di Indonesia, tentu memiliki tugas dan tanggungjawab yang besar kepada ATLET BERPRESTASI itu sendiri.

Karena bagaimanapun KONI tidak memiliki satupun atlet yang harus dibina jika tidak bersinergi dengan organisasi cabang olahraganya.

Selama ini yang berjalan adalah pembinaan secara normatif saja. Dimana belum ada terobosan baik dalam bidang kerjasama berkelanjutan dan pembinaan berkelanjutan termasuk maintenance bagi atlet-atlet berprestasi.

Semua tahu, bahwa untuk mencapai sebuah prestasi itu perlu biaya mahal, namun pembinaan ala KONI saat ini baru seperti kalimat, “Lu jual, Gue beli,” selesai.

Kalau ada atlet yang berprestasi kemudian masuk dalam jaring pembinaan KONI sebagai perpanjangan tangan pemerintah, dalam hal ini anggarannya melalui Kemenpora untuk dipusat, dan Dinas Pemuda dan Olahraga untuk di daerah.

Sebenarnya, KONI adalah lembaga swadaya masyarakat yang dipercaya oleh pemerintah untuk menjadi koordinator berbagai cabang olahraga yang menjadi anggotanya.

Yang terjadi saat ini adalah KONI hanya mengurusi seluruh atlet yang berprestasi dalam koridor event terbesar di Indonesia saja, yakni Pekan Olahraga Nasional (PON). Sedangkan untuk penanganan atlet yang akan bertanding ke luar Indonesia, ada satu lagi lembaga yang bernama Komite Olahraga Internasional (KOI). KONI sebatas dalam negeri, dan KOI mengurusi untuk even tingkat dunia.

Masih ada yang menggangganjal kata beberapa praktisi olahraga, terkait coverage area dari KONI itu, karena selama ini program KONI hampir semuanya hanya berfikir atletnya berprestasi saja. Pemerintah yang kemudian memikirkan besaran bonusnya, jika atletnya meraih prestasi tertentu.

Namun setelah atlet itu “selesai”, maka selesai pulalah urusannya dengan KONI, atau bahkan dengan negeri ini.

Seperti ibaratnya, “Habis Manis, Sepah Dibuang,” dan hanya 1 atau 2 persen yang bisa mendapatkan reward hingga masa tuanya, karena bisa diangkat menjadi pegawai negeri, misalnya. Atau dipinang oleh perusahaan swasta yang akhirnya memberikan lapangan kerja.

Lalu, kalau atlet cedera sesudah mengikuti PON, misalnya. Ini pun seperti itu nasibnya. Semua perobatan lanjutan ditanggung pengprovnya sendiri dan orang tua atlet. Adilkah? Belum.

Apalagi yang cedera itu atlet yang tidak mendapatkan medali sama sekali. Maka sama sekali juga tidak akan ditengok. Tidak seperti saat berharap kepada mereka untuk bisa mendapatkan medali di PON itu.

Ini harus kembali dipikirkan oleh para punggawa KONI dan dibicarakan dengan Dispora sebagai wakil pemerintah daerah.

Satu lagi, Dispora juga harus mengerti bagaimana memperlakukan atlet termasuk konsekuensi anggarannya, sehingga tidak seperti yang berhembus selama ini, anggarannya selalu dipepet, justru oleh Dispora sendiri.

Sedangkan Dispora, malah mengeluarkan banyak anggaran hanya untuk beberapa kegiatan yang tidak ada keberlanjutan, alias event putus. (Nanti dibahas lain kali – red).

Sustainable

Kalau benar KONI memulai lagi dengan pola pembinaan sustainable, keberlanjutan maka seyogyanya pula harus ada pemikiran yang mengarah pada program maintenance dan after event service.

KONI terdahulu, rasanya sudah melakukan pembinaan jangka panjang ini, namun DIHENTIKAN pada masa tertentu. Dan ini sangat merugikan pembinaan prestasi yang berkelanjutan itu.

Namun angin segar kembali digulirkan untuk menghidupkan program pembinaan berkelanjutan itu, yang sangat dimungkinkan akan memberikan semangat baru kepada pengurus cabor dan atlet untuk kembali berprestasi.

Bonus itu konsekuensi logis. Atlet yang berjuang punya hak untuk mendapatkan bonus. Tapi Bonus itu bukan berarti putus pembinaannya. Setelah menerima bonus, selesai. Dan tidak menerima uang pembinaan selanjutnya.

Nah memaknai HUT KONI ke-86 ini, saya secara pribadi yang sudah banyak mendengar keinginan para praktisi olahraga hanya sedikit menyegarkan ingatan para punggawa KONI Lampung untuk terus melakukan inovasi program termasuk bisa memasukkan anggaran maintenance dan after event service itu agar kepastian serta ketenangan atlet semakin terjamin.

Merampingkan kepengurusan itu juga perlu dikaji lebih banyak, untuk apa ada bidang-bidang jika tidak ada fungsinya. Ini harus dievaluasi lebih dalam dan tidak perlu ewuh pakewuh.

Ingat, KONI hanya ketergantungan kepada anggaran APBD saja. Maaf, seharusnya bidang-bidang terkait dana juga harus bekerja minimal bisa memberikan tambahan 10-20 persen dari kebutuhan dana KONI atau minimal untuk intern operasional KONI saja sudah bagus. Kalau gak bisa? Terus piye.

Dirgahayu KONI, semoga semakin kreatif, semakin sukses dengan seluruh indikasi sukses yang sesungguhnya. Aamiin. *****