Maiyah Duadelapanan, Anshori Djausal Diberondong Mahasiswa Soal Budaya Lampung

DL/Bandarlampung/Humaniora/29042023

----- Maiyah Duadelapanan yang digelar di Pondok Pesantren Al Muttaqien Kemiling Bandarlampung dengan tamu Anshori Djausal dalam kapasitasnya sebagai budayawan Lampung memberikan warna lain dalam diskusi bersama audiens yang kali ini mayoritas adalah mahasiswa dari beberapa perguruan tinggi di Lampung.

Ciri khas Maiyah tetap kental dengan isian diskusi dan bersenandung lagu-lagu yang bermakna. Digelar di halaman sekolah SMA dan SMP Al Husna Kemiling yang dipenuhi mahasiswa dan mahasiswi dari beberapa perguruan tinggi.

Beberapa pamong setempat juga antusias hadir dalam pertemuan yang rutin dilakukan di lokasi tersebut dan membahas berbagai topik itu, bahkan larut dalam senandung-senandung syahdu para mahasiswa.

Pada 28 April 2023, Maiyah Duadelapanan menjadi ajang diskusi hangat. KH Mustopha Wagianto selaku motor penggerak dan sesepuh Maiyah Duadelapanan Lampung memperkenalkan tamu yang malam itu hadir dengan membawa topik bahasan tentang budaya Lampung.


“Kali ini Maiyah Duadelapanan kedatangan tamu pak Anshori Djausal yang menurut saya sangat istimewa, karena tamu kita ini memiliki banyak informasi yang bisa terus digali untuk pengetahuan generasi muda. Jadi kalian bisa diskusi apa saja dengan beliau. Tanya saja misalnya mulai dari kenapa Lampung ada menara Siger, atau apa saja,” KH Mustopha membuka diskusi.

Pakde Mus, panggilan akrab Mustopha Wagianto, menegaskan bahwa acara ini rutin digelar sebagai sarana tangkapan ide dan gagasan serta kegelisahan para generasi muda tentang berbagai hal secara demokratis.

“Semakin banyak pertanyaan dan bahasan, semakin baik. Karena di sini, semua boleh dibahas. Kalian boleh bertanya apa saja dan berpendapat apa saja. Cara diskusi dan kajian di sini  ada dan terus berkembang,” tambahnya.

Budaya Lampung

Diskusi mulai hangat dengan beberapa pertanyaan mahasiswa kepada Anshori Djausal, justru mengenai adat dan budaya Lampung bahkan tentang apa dibalik pendirian ikon Lampung yakni Menara Siger.

Anshori yang memang seorang insinyur, merupakan perancang bangunan Menara Siger di Bakauheni yang dibangun pada saat provinsi Lampung dipimpin Sjachroedin ZP sebagai Gubernur. “Kenapa menara Siger?” kata Anshori.


Menurut Anshori, meletakkan menara Siger berada pada tempatnya yang sekarang, bukan tanpa perhitungan yang matang untuk kepentingan sampai masa yang akan datang.

“Menara Siger kami pilih di sana dengan pertimbangan yang matang. Letaknya berada di garis kaki langit Bakauheni, yang jika diperhatikan bisa nampak jelas dari sepanjang kawasan pelabuhan Bakauheni. Dan hingga saat ini sudah menjadi ikon Lampung. Karena Lampung perlu ikon itu. Dan sekarang sudah. Jika memasuki pelabuhan Bakauheni, maka orang sudah langsung mengatakan, kita sudah sampai Lampung,” ungkap pemilik Taman Kupu-kupu itu.

Fungsi utamanya, kata Anshori, adalah menjadikan ikon yang bisa diingat oleh semua orang. “Beberapa orang diantaranya memang ada yang bertanya kenapa menaranya dibuat seperti itu. Sementara yang lain lebih detail, bukan hanya soal keindahan saja. Masih banyak lagi,” ungkapnya.

Sejarah

Kemudian seorang mahasiswa juga menanyakan tentang sejarah Kitab Kuntara Rajaniti yang dihubungkan dengan pergaulan masyarakat Lampung.

Menurut Anshori, memang benar ada hubungannya. “Kitab itu memang ada sejak jaman Majapahit. Secara singkat saja, bahwa adanya kitab-kitab seperti itu yang dipedomani sebagai tata krama pergaulan masyarakat saat itu, sebagai cara berbudaya bersama dan beberapa hal lainnya. Jadi memang hubungan masyarakat sejak dulu juga ada aturannya, meskipun tidak se demokrasi sekarang, memang aturan-aturan dan pedoman itu sudah ada. Meskipun sekarang tidak lagi relevan dan mungkin sudah otomatis terganti dengan peraturan pemerintahan modern. Dan seterusnya.” Jelasnya.

Satu lagi pertanyaan yang juga masih menyangkut sejarah tentang Lampung masa lalu yang ada tradisi Nyambai yang merupakan kebiasaan sebuah kelompok atau suku yang masih menganut animisme. Dimana ada peraturan yang mewajibkan menyembelih manusia lainnya dalam situasi tertentu.

“Yaa. Memang itu kebiasaan yang sangat lama dan pernah berlaku di daratan Indonesia bahkan khususnya di wilayah yang sekarang di sebut Lampung. Tapi itu memang sudah masa lalu yaa. Dan aturan itu salah satunya hilang karena kedatangan agama Islam di sini. Ada kebiasaan sebuah suku tertentu mewajibkan seorang pemudanya merantau dan dianggap berhasil dan perkasa jika pulang ke kampungnya dengan menenteng dua kepala manusia. Atau kebiasan sebuah suku lainnya membunuh anak gadis, dan sebagainya.” Terangnya.

Tetapi semuanya saat ini menjadi sejarah yang tidak terlupakan dan memang baik untuk diketahui generasi muda seperti saat ini, agar ada pemahaman bahwa semua mempunyai masa lalu.

“Dan tentu kita semua akan berfikir ke depan saat ini. Bukan ke belakang lagi. Meski sebagai pelajaran itu pernah terjadi, yaa memang benar ada,” tambahnya.

Anshori menganjurkan agar anak-anak muda tidak malu bertanya kepada yang lebih tahu tentang apa yang ingin diketahuinya. “Jangan malu bertanya. Jangan banyak menyimpan pertanyaan, tetapi tidak pernah ditanyakan. Karena untuk menunjukkan kualitas diri, kalian harus berani mengungkapkan apa yang ada dalam pikiran kalian pada forum yang tepat. Jika kelak kalian berada dalam pergaulan internasional, maka kalian memiliki sebuah posisi yang jelas.” Jelas Anshori.

Pada sesi berikutnya Ustad Ari membahas singkat tentang sebuah ayat Al Qur’an yang berhubungan dengan keikhlasan dalam beribadah karena Allah Subhanawata’ala.

“Ada hal yang kadang kita salah melihatnya, bahwa semua ibadah kita itu seharusnya dilakukan dengan ikhlas karena Allah. Kalau salat Dhuha dilakukan bukan karena pengin rejekinya, tetapi karena Allah, dan salat-salat lain pun demikian. Lillahita’ala. Ikhlas karena Allah,” ungkapnya.

Maiyah ditutup dengan saling bersalaman sekaligus bermaaf-maafan. (don)