Pedagang di PKOR Akhirnya Buka Suara, Tentang Pungli Yang Menahun di PKOR

DL/Bandarlampung/2023

---- Terkuaknya praktek pungli yang selama ini berlangsung dalam pengelolaan dan penanganan pedagang di kawasan kompleks PKOR Way Halim makin hari makin jelas.

Beberapa pedagang sebagai perwakilan dari mayoritas pedagang yang ada di kawasan itu buka suara blak-blakan atas perlakuan yang tidak prosedural dari pengelola sebelumnya Zaenal dan Fauziah.

Mereka ini mengaku gerah setelah diberitakan secara sepihak oleh Fauziah bahwa ada upeti yang diminta oleh Kepala UPTD PKOR Way Halim selama ini.

Setelah mereka mengerti bahwa berita itu tidak benar dan mendiskreditkan UPTD PKOR, maka akhirnya mereka bersuara lantang, selama ini berlangsung pungutan liar tanpa dasar, namun memaksa.

Beberapa pedagang atau penyedia sarana mainan untuk masyarakat menyatakan bahwa selama ini mereka merasa dibohongi dengan beberapa iuran yang ternyata itu hanya akal-akalan dua oknum tersebut sebagai kuasa pengelola.

“Kami diwajibkan dengan paksa setiap bulan membayar Rp200 ribu. Gak peduli itu posisinya dagang atau tidak. Hujan atau tidak. Kewajiban kami harus dipenuhi. Belum lagi ditambah iuran listrik Rp75 ribu. Kalau gak b ayar tepat waktu, ancamannya kami harus keluar dari PKOR. Katanya banyak yang mau menggantikannya,” kata Jahri.

Sementara itu pedagang lain mengatakan bahwa pada dasarnya setiap saat selalu ditekan soal biaya dan salar. Tidak ada toleransi pengurangan pembayaran untuk mereka, seperti ketika PKOR dipergunakan untuk acara provinsi seperti Lampung Fair dll.

“Otomatis kan kami tidak bisa dagang, karena kalau dagang pasti harus membayar lapak kepada panitia even lebih besar, dan kami tidak punya uang untuk mendaftar saja,” tambah Isah.

Iuran Lebaran dan Tahun Baru

Meskipun UPTD PKOR tidak memberlakukan adanya pungutan lain selain untuk PAD yang jumlahnya Rp.10 ribu yang mencakup biaya listrik, kebersihan, keamanan dan lain-lain, namun selama ini para pedagang selalu diminta oleh para pengelola di lapangan adanya iuran untuk Lebaran dan Tahun Baru.

“Besarnya Rp50 ribu paling kecil. Jadi kami diminta juga dengan paksa dan tanpa tanda terima apapun. Bahkan yang dinilai usahanya agak besar dan laris bisa diminta lebih dari itu. Pokoknya paling sedikit Rp50 ribu per lapak,” kata Dewi pengusaha kuliner di PKOR.

Alasannya, pungutan itu untuk memberikan THR kepada para pejabat UPTD dan alasan-alasan lainnya.

Mengenai hal ini, Kepala UPTD PKOR Way Halim, Heris Meyusep membantah keras. “Tidak pernah ada perintah apapun dari kami untuk memungut iuran selain yang termasuk dalam unsur PAD. Apalagi untuk keperluan Lebaran dan Tahun baru atau apapun itu. Bahkan saya baru tahu setelah terkuak praktek mereka itu,” tandas Heris.

Heris mengatakan bahwa sepanjang bertugas di PKOR, dia tidak membayangkan ada praktek seperti itu selama ini. “Ya karena kami tidak merasa memerintah atau apapun namanya untuk memberatkan para pedagang itu,” tambahnya.

Ini dikuatkan oleh komentar Edi Sunarso, kepala UPTD PKOR terdahulu, bahwa sebelumnya dalam rangka penataan PKOR dari serbuan para pedagang yang terkesan ilegal dan semrawut, maka diadakan pertemuan dengan seluruh pedagang yang berniat berdagang di kawasan PKOR waktu itu.

Edi mengatakan bahwa secara terbuka di hadapan semua pihak yang berkaitan, termasuk Zainal dan Fauziah yang saat itu juga sebagai koordinator pedagang PKOR dan seluruh pedagang. “Disepakati bahwa kita semua setuju dengan pembayaran perpedagang baik mainan maupun kuliner sebesar Rp10 ribu perhari jika mereka dagang. Jika pada suatu hari tidak berdagang, maka tidak dipungut uang harian itu, dan tidak merupakan hutang. Dan seluruhnya sudah sepakat. Jika dalam perjalanan nya kemudian terjadi perubahan di lapangan, maka itu di luar pengetahuan kami UPTD. Jika nanti terbukti ada yang bermain, maka oknum itulah yang bertanggungjawab secara pribadi,” kata Edi Senin 20 Maret 2023 melalui selulernya.

Dengan tegas, Edi mengatakan tidak pernah ada aturan lain selain yang sudah disepakati Rp10 ribu tersebut. Rincian kegunaan dari uang Rp10 ribu itu adalah Rp2 ribu untuk keamanan, Rp2 ribu untuk parkir, Rp2 ribu untuk Listrik, Rp2 ribu untuk kebersihan dan Rp2 ribu untuk lain-lain.

Laporan Lapak

Hal baru yang diungkapkan oleh para pedagang selain pungutan liar dengan berbagai dalih yang rata-rata secara paksa, ada lagi penomoran lapak ganda yakni dua lapak dengan nomor yang sama. Kecurigaan bahwa pelaksana lapangan dimungkinkan melakukan manipulasi pada laporan jumlah lapak di PKOR bisa saja terjadi.

“Contohnya, saya kan mengambil dua lapak yang nomornya misalnya nih 100 dan 101. Nah kenyataannya di belakang atau di depan lapak saya itu juga ada lapak lain yang nomornya sama dengan saya. Saya kok heran yaa, kan nomornya seharusnya tidak boleh sama. Apalagi saya yang duluan, kok bisa disamakan nomor dengan yang baru datang,” kata Lina.

Ini menimbulkan kecurgiaan, jangan-jangan ada manipulasi laporan ke UPTD oleh para pengelola di lapangan, bahwa lapak yang bernomor ganda pasti hanya dilaporkan satu nomor saja.

“Artinya, jika jumlah lapak yang dilaporkan misalnya nih, 100 lapak, bisa saja sebenarnya lebih dari itu. Bisa kok pak itu dicek di laporan UPTD, apakah ada nomor lapak yang sama beberapa tempat. Misalnya nomor lapak 100 ada dua atau lebih pedagang misalnya. Kan bisa dicek.” Tambahnya.

Para pedagang yang mayoritas mengaku hanya ingin mencari uang untuk nafkah keluarga untuk kelangsungan hidupnya dengan tenang, nyatanya di lapangan justru sering mendapat masalah dari gaya premanisme tersebut.

Mereka meminta pemerintah segera turun tangan dan memberantas praktik premanisme yang sudah lama tumbuh di PKOR Way Halim, karena kawasan itu adalah tanah milik pemerintah, bukan tanah pribadi para pengelola tersebut.

“Semua harus diatur secara transparan dan tidak ada pemaksaan, pemalakan dan premanisme. Semua kami di sini mencari makan pak, bukan mencari masalah,” kata dia. (tim)